cumi123

pajaktoto online - BI Rate Turun & Rupiah Perkasa, SRBI Buat Apa Lagi?

2024-10-08 01:49:55

pajaktoto online,angka togel 73,pajaktoto online

Jakarta, CNBC Indonesia - Era suku bunga rendah diperkirakan masih sulit terwujud dalam jangka pendek meskipun Bank Indonesia sudah memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps). Keberadaan instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) menjadi pemicunya.

BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuannya dari 6,25% menjadi 6,00% pada Rabu (18/9/2024). Sementara suku bunga Deposit Facility juga dipangkas menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility menjadi 6,75%.

Pemangkasan suku bunga ini adalah yang pertama sejak Februari 2021. BI mengerek suku bunga sebesar 275 bps sepanjang Agustus 2022-April 2024 dari 3,50% menjadi 6,25% sebelum menahannya pada Mei, Juni, Juli, dan Agustus 2024.

Suku Bunga Kredit dan SRBI

Kendati BI rate dipangkas, sejumlah analis memperkirakan transmisi kebijakan suku bunga acuan ke bunga perbankan akan memakan waktu lebih lama. Pasalnya, ada SRBI yang memiliki imbal hasil tinggi.

Seperti diketahui, pada September 2023, BI meluncurkan SRBI sebagai instrumen operasi moneter menggantikan Reverse Repurchase Agreement (Reverse Repo) Surat Berharga Negara atau RR SBN untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan.

Bagi bank, SRBI bisa disimpan untuk menambah likuiditas ataupun mendapatkan revenue dengan menjualnya ke pihak lain seperti perusahaan pengelola aset, investor baik dalam ataupun luar negeri, dan investor ritel.

Kehadiran SRBI semula diharapkan bisa meningkatkan pasar sekunder (jual-beli) SRBI antar bank serta bank dengan investor institusi keuangan asing. SRBI juga diharapkan bisa meningkatkan transaksi repo antar bank dengan menggunakan SRBI sebagai kolateral.

Imbal hasil dari SRBI saat ini berada di kisaran 7%, masih 100 bps di atas BI rate. Dengan tingginya imbal hasil yang diperoleh maka menempatkan dana di SRBI akan sangat menarik.

Imbal hasil SRBI akan lebih menarik sebagai acuan dibandingkan BI rate saat bertransaksi pinjam meminjam antar bank ataupun transaksi repo.

Sebagai kompensasi bunga pinjaman yang lebih tinggi dari BI rate, bank peminjam tentu juga akan menggunakan bunga acuan yang lebih tinggi saat memberikan pinjaman kepada pihak lain. Dampak panjangnya, bunga pinjaman pun akan sulit turun sehingga pertumbuhan kredit bisa terhambat.

Baca:
Dolar AS Sudah Rp15.000, Mantan Bos BI Berharap SRBI Dikurangi

Menanggapi hal ini, Ekonom Ciptadana Sekuritas Asia, Renno Prawira menyampaikan bahwa memang diperlukan waktu (time lag) hingga akhirnya suku bunga pinjaman (cost of fund) lebih rendah.

Ia juga menegaskan bahwa dengan imbal hasil SRBI yang tinggi, ada potensi perbankan lebih memilih untuk berinvestasi di SRBI daripada menyalurkan kredit.Kendati demikian, likuiditas perbankan saat ini masih berada di level yang memadai, dengan posisi di 25,37% pada Agustus. Dengan likuiditas yang sehat, bank seharusnya memiliki ruang yang cukup untuk menyalurkan kredit sekaligus berinvestasi di SRBI.

Begitu pula dengan VP Financial Institution Bank Syariah Indonesia, Kahfi Riza yang mengatakan memang akan ada lag untuk adjustment ratedi perbankan, sehingga dampak dari penurunan BI rate kemungkinan baru akan efektif di awal tahun depan.

Tingkat imbal hasil SRBI yang lebih tinggi dari BI rate juga menjadi pertimbangan bank dalam pengelolaan portfolio kredit atau pembiayaannya.

"Ke depan, kami melihat bahwa penerbitan SRBI perlu dievalulasi baik dari sisi imbal hasil maupun jumlahnya, utamanya berkenaan dengan objektifnya sebagai instrumen untuk pengendalian likuiditas di pasar keuangan domestik," pungkas Kahfi.

SRBI Layak Dipertahankan?

Kehadiran SRBI pada dasarnya telah memberikan dampak yang cukup positif di Tanah Air khususnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Selain SRBI ditujukan untuk menyerap likuiditas dan mendukung pengembangan pasar uang dan pasar valuta asing, SRBI juga dihadirkan untuk mendatangkan dana asing yang berujung pada stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Sebagai catatan, pada awal Agustus 2023 hingga awal November 2023 tercatat net foreign outflowyang cukup besar dan di saat yang bersamaan, rupiah terpantau anjlok sekitar 5,2% dari Rp15.110/US$ menjadi Rp15.930/US$.

Namun seiring berjalannya waktu, net foreign inflowterjadi dengan sangat masif disepanjang 2024 ini.

Data transaksi BI pada 17-19 September 2024, investor asing tercatat beli neto Rp25,6 triliun terdiri dari beli neto Rp19,76 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), Rp4,19 triliun di pasar saham, dan beli neto sebesar Rp1,66 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Sementara selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 19 September 2024, investor asing tercatat beli neto sebesar Rp51,85 triliun di pasar saham, Rp21,39 triliun di pasar SBN dan Rp186,85 triliun di SRBI.

Derasnya dana asing ini juga pada akhirnya membuat rupiah menjadi jauh lebih stabil dan cenderung menguat bahkan rupiah tampak sangat perkasa di kisaran level Rp15.100/US$.

Hal ini mencerminkan bahwa kemunculan SRBI telah terbukti memberikan dampak yang signifikan bagi Indonesia khususnya di tengah kondisi global yang tidak pasti hingga tensi geopolitik yang masih terus terjadi.

Saat ini, kondisi global dan domestik cenderung lebih stabil diikuti dengan penurunan suku bunga acuan di berbagai bank sentral dunia tampak melakukan pemangkasan.

Angka inflasi global dan Indonesia secara tahunan pun tampak terus melandai diikuti dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang jauh lebih kuat dibandingkan beberapa bulan sebelumnya.

Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan akan instrumen SRBI menjadi kurang diperlukan lagi.

Untuk diketahui, saat ini penerbitan SRBI memang terus mengalami penurunan. Dengan berkurangnya penerbitan maka jumlah SRBI yang ada di pasar sekunder akan perlahan berkurang untuk semua tenor. Imbal hasil pun diharapkan turun. Likuiditas yang semula ketat pun bisa melonggar sehingga persaingan perebutan dana berkurang.

CGS Internationalmencatat dalam penerbitan terbaru untuk SRBI enam bulan maupun 12 bulan terpantau terus mengalami penurunan. Untuk tenor enam bulan, penerbitan SRBI tak sampai Rp1 triliun dan untuk tenor 12 bulan tak sampai Rp13 triliun.

Lebih lanjut, Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang juga menegaskan, jumlah issuance sudah berkurang signifikan dari Juli yang sekitar Rp139 triliun menjadi Rp60 triliun di Agustus. Begitu pula dngan rate SRBI yang turun ke 7,1% dari sebelumnya sempat 7,5%.

CGSIFoto: Nominal Issued & Yield SRBI
Sumber: CGS International

Kendati penerbitan SRBI terus menurun, namun Renno menilai bahwa SRBI tidak perlu dihapus/dihilangkan.

"Instrumen ini tetap penting, terutama mengingat ketidakpastian geopolitik yang masih tinggi, seperti yang diperkirakan akan terjadi pasca Pemilihan Presiden AS dan eskalasi di timur tengah maupun Rusia vs Ukraina yang masih berlangsung," ujar Renno.

Selaras dengan Renno, Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menyampaikan bahwa ia berharap agar SRBI tetap ada karena SRBI instrumennya berbasis SBN yang inlinedengan surat utang negara.

"Kalau nanti likuiditas domestik berlimpah (banyak yang masuk), maka BI bisa solid untuk mengelola terkait stabilisasi nilai tukar dan juga dari sisi BI ke depannya intermediasi keuangan dapat berjalan dengan baik, khususnya penyaluran kredit dari bank kepihak ketiga," tutup Myrdal.

Urgensi SRBI Masih Relevan?

 Mantan Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah mengatakan jika suku bunga BI turun, maka SRBI dapat dikurangi oleh BI. Terlebih rupiah sudah menguat tajam.
Dalam catatan Refinitiv,rupiah ditutup di posisi Rp 15.095/uS$1. Mata uang Garuda sudah menguat 1,94% sepanjang tahun ini.
Rupiah sudah menguat 1.350 points dari posisi terlemahnya tahun ini di Rp16.445.

"Saya kira mungkin SRBI kalau misalnya suku bunga bisa turun SRBI bisa dipikirkan untuk ditahan, dikurangi lah oleh BI, apalagi dengan penguatan rupiah yang ada sekarang sehingga barang kali point untuk pertahankan SRBI dalam jumlah besar sudah tidak ada lagi," tutur Burhanuddin di acara UOB Economic Outlook 2025, Rabu (25/9/2024).

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter BI, Juli Budi Winantya mengingatkan, kehadiran SRBI sebetulnya tidak hanya dirancang untuk menyerap inflows, melainkan untuk menciptakan pendalaman pasar keuangan. Karenanya, kehadirannya masih akan terus dipertahankan.

"Sehingga tidak hanya dimaksudkan tarik inflowstapi juga instrumen yang mendukung pendalaman pasar keuangan," kata Juli di Kantor Pusat BI, Jakarta, Selasa (24/9/2024).

Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan (DPPK) BI, Donny Hutabarat menambahkan, SRBI juga dirancang untuk tiga tujuan utama operasi moneter, yakni selain pendalaman pasar keuangan dan mendukung inflows, juga untuk penguatan transmisi suku bunga

"Jadi SRBI akan longlasting, tapi nanti variasi strateginya yang akan disesuaikan dengan konteks tantangan yang akan dihadapi," ucap Donny.

Asisten Gubernur sekaligus Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono juga menekankan, sebetulnya BI sebagaimana bank sentral lain juga ingin supaya aliran modal terfokus masuk ke pasar SBN saja.

Namun, karena SBN pasokannya terbatas, SRBI menjadi instrumen penting untuk menjaga pasokan aliran modal asing ke Indonesia. Makanya, ia memastikan, peran SRBI akan terus dijaga BI sampai SBN bisa memenuhi kebutuhan untuk menjaga derasnya aliran modal asing masuk ke Indonesia untuk menjaga pasokan valas di dalam negeri.

"Kecuali pada waktunya nanti surat berharga tadi memadai, sehingga BI tidak perlu lagi mengeluarkan SRBI, tapi until that time SRBI masih tetap akan digunakan," ucap Erwin.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev) Saksikan video di bawah ini:

Prabowo: Hilirisasi Mutlak, Tidak Bisa Ditawar!

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">