cumi123

trade.topbos login - Menilik Sebab Investasi PLTP Lambat di Tengah Ambisi Transisi Energi

2024-10-08 05:35:30

trade.topbos login,sahabatlotre,trade.topbos loginJakarta, CNN Indonesia--

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap salah satu penyebab pembangunan pembangkit listriktenaga panas bumi (PLTP) berjalan lambat adalah proses perizinan yang lama. Padahal, potensi energi geothermal di Tanah Air mencapai puluhan ribu megawatt (MW).

Sebab, dari potensinya yang mencapai 24 ribu megawatt hanya 11 persen yang baru bisa digarap para investor.

"Potensinya ada 24 ribu megawatt. Sudah kita kerjakan, tapi kok tidak berjalan secara cepat," kata Jokowi saat membuka Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) ke-10 Tahun 2024 di JCC, Jakarta, Rabu (18/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau saya, ndak kuat saya. Meskipun banyak yang menyampaikan saya sabar, tapi untuk nunggu 6 tahun ndak kuat," imbuhnya.

Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), embangkit berbasis panas bumi baru mengambil porsi 19 persen dari total pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) nasional dengan realisasi kapasitas PLTP terpasang sebesar 2.360,3 MW pada 2022.

Indonesia sebagai negara yang berada di kawasan cincin api atau ring of fire memiliki sekitar 40 persen cadangan panas bumi dunia. Sehingga, seharusnya porsinya dalam EBT bisa lebih besar lagi.

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan masalah utama penyebab pembangunan PLTP lambat bukan proses perizinan yang membutuhkan waktu lama, melainkan karena biaya yang tinggi. Selain itu juga karena dampak yang ditimbulkan dapat merusak lingkungan. Karenanya, investor ragu untuk masuk.

"Investasi PLT Geothermal (PLTP) selain berbiaya besar, ternyata juga banyak menimbulkan masalah, terutama terkait lingkungan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar pembangkit.

Lihat Juga :
Apa Itu Susu Ikan dan Bagaimana Cara Buatnya?


Menurutnya, meski salah satu keunggulan PLTP adalah energi yang ramah lingkungan karena tanpa menghasilkan polusi atau nol karbon, tapi proses dalam mendapatkan energi tersebut dapat membuat kerusakan.

"Skema PLT Geothermal yang memecah batu di dalam perut bumi sehingga menimbulkan uap panas ternyata menimbulkan kerusakan lingkungan seperti kerusakan rumah dan sebagainya," jelasnya.

"Kemudian uap yang dihasilkan ternyata juga menimbulkan dampak kepada kualitas udara, sehingga produk pertanian jadi menurun kualitas dan kuantitasnya," imbuh Nailul.

Dengan kondisi ini, maka investor sangat mempertimbangkan untuk masuk ke sektor PLTP. Sebab, bakal ikut menanggung beban kerugian yang ditimbulkan.

"Maka secara ekonomi harusnya investor juga menanggung kerugian akibat pembangunan PLT Geothermal. Investor tidak akan tertarik memang dengan kondisi tersebut. Makanya pembangunan PLT Geothermal ya tidak akan berjalan dengan baik," terangnya.

Oleh karenanya, Nailul menyarankan pemerintah menggenjot pembangkit listrik EBT lainnya dalam proses transisi energi ke lebih hijau. Misalnya, dengan pembangkit listrik Tenaga Surya (PLTS).

"Yang harus dilakukan bukan mempercepat capaian target PLT Geothermal. Namun membuat bauran PLT EBT yang lebih ramah lingkungan dengan besaran investasi yang sama, misalkan Pembangkit Tenaga Surya," kata Nailul.

Sementara, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjajaran Yayan Satyakti mengatakan ada dua permasalahan yang membuat pembangunan PLTP lambat, masalah tanah (land issues) dan keekonomiannya (economic viable issues).

Pertama, terkait masalah tanah, dalam pengembangan geothermal bisa menyebabkan konflik dengan penguasaan lahan seperti kawasan panas bumi berada pada zona konservasi seperti di kawasan hutan lindung.

"Kebijakan ini harus dengan hati2 dengan konservasi hutan. Selain konflik di daerah seperti PBB yang akan meningkatkan biaya, karena definisi pengembangan sama dengan definisi bangunan sehingga tarif pajaknya akan naik secara signifikan," jelasnya.

[Gambas:Photo CNN]

Kedua, dari sisi keekonomiannya, eksplorasi PLTP yang dilakukan melalui proses injeksi sumur membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit dengan tingkat keberhasilan yang cenderung rendah. Biaya yang tinggi dan tingkat keberhasilan yang kecil inilah membuat investor tidak tertarik untuk mengembangkan EBT dari panas bumi.

"Eksplorasi injeksi sumur geothermal relatif mahal dan pembiayaan ini tidak seperti pada kasus migas. Cost recovery geothermal ini tidak semenarik migas, karena tarif uap panas bumi ini, financial viablenya lebih panjang dan lebih murah dibandingkan dengan migas. Andaikan ada, skala proyeknya harus besar," kata Yayan.

Oleh sebab itu, untuk mempercepat pembangunan PLTP, Yayan menyarankan pemerintah memberikan dorongan dan solusi di masalah lahan. Sebab, mengembangkan geothermal menjadi solusi pengembangan EBT karena bisa digunakan dalam jangka panjang yakni 50 tahun-80 tahun.

Selain itu, juga lebih aman dibandingkan pembangkit EBT lainnya seperti tenaga nuklir.

"Relatif lebih aman dibandingkan nuklir dan bisa kompetitif harga listriknya, dalam jangka panjang," jelas Yayan.

INSERTGRAFIS Perkembangan Bauran Energi Baru Terbarukan 2019-2024Foto: cnn indonesia/ agder maulana
INSERTGRAFIS Perkembangan Bauran Energi Baru Terbarukan 2019-2024

Di sisi lain, Yayan mengungkapkan untuk mencapai transisi energi lebih hijau sesuai target pemerintah memang makin berat. Apalagi target bauran EBT selalu tak pernah tercapai, setidaknya dalam lima tahun terakhir.

Misalnya, pada 2023 pemerintah menargetkan bauran EBT mencapai 17,9 persen terhadap energi nasional. Namun, hanya terealisasi 13,3 persen. Begitu juga pada 2022 yang ditargetkan 15,7 persen baurannya, tapi realisasinya hanya 11,9 persen.

Hal ini dikarenakan PLTU masih mendominasi pembangkit di Tanah Air dan biaya untuk beralih ke energi hijau makin mahal.

"Agar menjadi reasonable transisi phasing out of coal, ini harus menjadi prioritas dan co-firing biomass menjadi solusi satu-satunya untuk secara perlahan mengganti feedstock batu bara," pungkas Yayan.

[Gambas:Video CNN]