cumi123

erek katak - 79 Tahun Merdeka, Wajah Si Miskin dan Tak Sejahtera Masih Menghias RI

2024-10-08 01:38:48

erek katak,tafsir mimpi 2d belalang,erek katakJakarta, CNN Indonesia--

Echa (26) menarik napas dalam saat memikirkan caranya mengelola keuangan di tengah mahalnya biaya hidup diJakarta.

Bagaimana tidak, ia yang merupakan seorang perantau harus memutar otak mengelola gajinya yang hanya sedikit di atas UMR Jakarta atau sekitar Rp5,5 juta juta per bulan. Terlebih, ia tak hanya menanggung biaya hidup sendirinya, tetapi juga orang tua dan adiknya yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

"Tiap bulan kan ngirimuang buat orang tua di kampung, terus bantu biayai kuliah adik juga. Jadi ya gaji sebulan suka enggak cukup," kata Echa kepada CNNIndonesia.com.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia juga mengirimkan uang ke orang tuanya sebesar Rp1,5 juta dan cicilan uang kuliah sang adik Rp500 ribu.

"Ya sisanya paling Rp500 ribu - Rp700 ribu tiap bulan, itu juga kadang terpakai buat jajan dikit. Susah sih kalau mau nabung," katanya.

Gajinya yang hanya pas-pasan membuat Echa juga sulit kembali ke kampung halamannya, Pekanbaru. Untuk biaya tiket pesawat saja bisa menghabiskan kurang lebih Rp4 juta pulang pergi.

Alhasil, ia hanya bisa pulang ke kampung halaman dan bertemu keluarga dua tahun sekali.

Lihat Juga :
ANALISISMengkritik HUT RI di IKN Saat Utang Jatuh Tempo Rp800 T-PHK Mengintai

"Kalau pulang kampung kan biasanya Natal sama Tahun Baru kan, itu kan ada bagi-bagi THR buat saudara-saudara. Jadinya harus ngumpulin duit banyak," katanya.

Hal senada juga dirasakan Linda (27) yang mengaku kesulitan dengan hidup hanya dengan gaji UMR atau Rp5,2 juta per bulan di ibu kota. Gaji yang ia terima biasanya dialokasikan untuk dikirim ke orang tua sebesar Rp1 juta, Rp1,2 kos untuk biaya kos serta pulsa dan internet, dan Rp1,8 juta untuk makan dan kebutuhan lainnya.

"Kerja sudah sekitar 3 tahun di berbagai tempat yang berbeda. Sedangkan tabungan belum terlalu banyak," katanya.

Karena itu, ia sebisa mungkin menekan pengeluaran yang tidak terlalu penting, seperti membeli jajan, kopi, dan membeli makan di luar. Selain itu, ia juga lebih banyak jalan kaki dan menggunakan transportasi umum meskipun sedikit lebih lama dan butuh tenaga lebih banyak.

Lihat Juga :
China Uji Coba 'Kereta Terbang' 1.000 Km/Jam, Lebih Cepat dari Whoosh

"Kemudian, jika ada tawaran kerja sampingan per project, itu saya ambil untuk menambah sedikit2 pemasukan saya," katanya.

Echa dan Linda mungkin tidak masuk kategori orang miskin menurut perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, kehidupan keduanya masih jauh dari sejahtera.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 9,03 persen atau 25,22 juta orang per Maret 2024. Angka ini turun jika dibandingkan dengan Maret 2023 yang mencapai 9,56 persen atau 25,9 juta orang.

Garis kemiskinan pada Maret 2024 tercatat sebesar Rp582.932 per kapita per bulan. Ini dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp433.906 (74,44 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp149.026 (25,56 persen).

Lihat Juga :
Respons Menteri ESDM soal Isu Bakal Dicopot Jokowi: Tunggu Saja

Pada Maret 2024, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,78 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga secara rata-rata adalah sebesar Rp2.786.415 per rumah tangga miskin per bulan.

Artinya, penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai orang miskin. Namun, bukan berarti warga yang pengeluarannya di atas garis kemiskinan itu terbilang sejahtera.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Biang Kerok Sulitnya Menjadi Sejahtera

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan sebenarnya dibandingkan kondisi kemiskinan dalam satu dekade ke belakang, pemerintah telah melakukan berbagai hal yang mendorong terjadinya penurunan tingkat kemiskinan. Dalam konteks tersebut, ia menilai pemerintah perlu diapresiasi.

Namun, masalah kemiskinan kemudian menjadi isu yang perlu diselesaikan terutama setelah pandemi covid-19 karena mengalami lonjakan yang cukup tajam.

"Dan sayangnya setelah pandemi sisa dari kondisi pandemi masih terasa terhadap kondisi kemiskinan di Indonesia," katanya kepadaCNNIndonesia.com.

Lihat Juga :
Badai PHK Makin Menggila, 44.195 Buruh Sudah Menjadi Korban

Yusuf mengatakan ketika pandemi terjadi peningkatan pengangguran karena maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Mereka yang kemudian terkena PHK akhirnya harus mencari cara agar setidaknya bisa bertahan hidup dan salah satunya dengan beralih ke sektor informal.

Namun sayangnya, mereka yang kemudian bekerja di sektor informal sangat rentan bisa terklasifikasi sebagai masyarakat miskin. Hal ini karena pekerja sektor informal umumnya tidak mendapatkan jaminan pekerjaan ataupun jaminan sosial yang sebenarnya dibutuhkan ketika terjadi kondisi shockperekonomian yang bisa berdampak terhadap pendapatan pekerja.

Tanpa memasukkan konteks pandemi pun, sambungnya, sebenarnya masalah pekerja di sektor informal telah menjadi permasalahan yang dihadapi pemerintah sebelumnya. Kondisi ini lah yang katanya menyulitkan pemerintah dalam upaya menurunkan kemiskinan.

Di lain sisi, upaya mendorong pekerja sektor informal untuk masuk kembali ke sektor formal juga tidak mudah karena diperlukan sektor lapangan usaha yang sesuai dengan karakteristik angkatan kerja saat ini yang didominasi oleh lulusan SMP ke bawah. Salah satu sektor atau usaha yang sebenarnya sesuai dengan kriteria tersebut adalah industri manufaktur.

Lihat Juga :
Kronologi Viral BBM Kena Admin Rp5.000 hingga Operator SPBU Dipecat

"Hanya sayangnya kalau kita melihat dalam satu dekade terakhir tren deindustrialisasi dini yang terjadi di Indonesia itu belum mampu diselesaikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mendorong atau memperbanyak serapan angkatan kerja di sektor formal," sambungnya.

Selain itu, bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah umumnya hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah terklasifikasi sebagai masyarakat miskin. Namun mereka yang terklasifikasi sebagai masyarakat rentan atau hampir miskin itu relatif sedikit atau tidak mendapatkan bantuan sosial yang dimaksud.

Akibatnya ketika kehilangan pekerjaan, mereka kemudian cukup rentan untuk masuk ke dalam kategori klasifikasi masyarkat miskin.

[Gambas:Photo CNN]

Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengtatakan ada dua penyebab rakyat Indonesia sulit menjadi sejahtera. Pertama, pembangunan ekonomi nasional yang masih berpijak pada pertumbuhan ekonomi yang sayangnya tidak berkualitas. Pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas karena tidak mampu mendorong penyerapan tenaga kerja yang optimal.

Kondisi itu, sambung Nailul, merupakan penyakit pertumbuhan ekonomi sejak zaman pasca perang dunia kedua di mana pertumbuhan ekonomi didorong tetapi tidak mengerek tenaga kerja.

"Pada akhirnya kemiskinan tidak berkurang secara signifikan. Bahkan dampaknya bisa lebih parah, yaitu ketimpangan ekonomi semakin melebar," katanya.

Penyebab kedua adalah bantuan sosial yang masih belum terkonvergensi. Artinya pemberian bantuan kepada masyarakat miskin tidak secara total dan masih parsial.

[Gambas:Video CNN]