cumi123

ucok bet - Warga Adat Uji Formil UU Konservasi SDA Hayati ke MK

2024-10-08 05:33:50

ucok bet,sumber toto togel,ucok betJakarta, CNN Indonesia--

Perwakilan komunitas Masyarakat Adatdan organisasi masyarakat sipil melakukan gugatan uji formil UU 32/2024 atau UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan tersebut didaftarkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane atas dukungan Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan.

Pengujian formil dilakukan karena banyak persoalan dalam konteks penyusunan UU KSDAHE yang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, UU Pembentukan PeraturanĀ Perundangan, dan Putusan MKĀ Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Selain itu, secara substansi UU ini menegasikan keberadaan Masyarakat Adat sebagai subjek dalam penyelenggaraan konservasi, bahkan berpotensi kuat merampas wilayah adat dan kriminalisasi Masyarakat Adat melalui perluasan preservasi," kata Rukka.

Lihat Juga :
Cerita Jokowi Saat Dengar Bisikan Akan Digulingkan

Pada konsideran UU 32/2024 tidak mempertimbangkan subjek hukum yaitu Masyarakat Adat yang ada dan hidup di wilayah konservasi. Padahal, apabila dilihat cara dan pola hidup Masyarakat Adat yang hidup di wilayah tersebut, Masyarakat Adat mengelola dan memanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang. Bahkan, tidak hanya mengelola dan memanfaatkan, melainkan juga menjaga kelestariannya.

"Artinya, pembentuk UU dalam menyusun UU 32/2024 tidak melibatkan pihak yang terdampak, serta pihak yang concern (mempunyai perhatian dan peduli) terhadap urusan Sumber Daya Alam Hayati Indonesia dan Ekosistemnya," ungkap Rukka.

Atas kondisi itu, ia menilai UU KSDAHE menjadi tidak mempunyai tujuan jelas yang hendak dicapai, seperti pemahaman ekosistem yang tidak menyentuh pada tingkat subjek hukum yang berkaitan erat dengan ekosistem Sumber Daya Alam Hayati Indonesia yaitu Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi yang ditetapkan oleh negara.

Manajer Kajian Kebijakan WALHI Satrio Manggala menilai UU KSDAHE secara formil tidak sesuai dengan sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan UUD 1945.

"Asas keterbukaan berkaitan erat dengan proses partisipasi yang bermakna. Tanpa keterbukaan, maka tidak ada partisipasi yang bermakna," ujar Satrio melalui keterangan tertulis dikutip Senin (23/9).

Satrio menyampaikan catatan krusial dalam rumusan perubahan UU KSDAHE pada tanggal 25 Juni 2024 di Gedung DPR RI. Hingga hari ini, terang Satrio, DPR hingga hari ini tidak memberikan alasan maupun kejelasan mengenai penolakan terhadap masukan-masukan masyarakat sipil.

Lihat Juga :
Gerindra: Tunda Dulu Keputusan Buka Lagi Ekspor Pasir Laut

Senada dengan hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyatakan pengetahuan, budaya dan kearifan lokal masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam mengelola dan melakukan konservasi berbasis masyarakat secara mandiri tidak diakomodasi lantaran partisipasi bermakna dihilangkan.

Menurut dia, UU KSDAHE secara jelas bertentangan dengan Hak Konstitusional Nelayan dan Masyarakat Pesisir sebagaimana tercantum dalam Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010.

"Beberapa di antaranya adalah hak untuk mengakses laut, hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sesuai budaya dan tradisi masyarakat, dan hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan," jelas Susan.

Koalisi menambahkan pembentukan UU KSDAHE tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan terutama bagi Masyarakat Adat dan komunitas lokal sebagai subjek hukum.

Hal tersebut ditandai dengan beberapa permasalahan substantif yang dapat dipastikan akan muncul dan dialami Masyarakat Adat atau komunitas lokal yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Misalnya lebih banyak celah potensi terjadi kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi dan pengabaian terhadap hak-hak Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi.

Apalagi, di dalam UU KSDAHE tidak ada Pasal yang mengatur mengenai Padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan) atau yang dikenal dengan FPIC (Free, Prior, Informed Consent) dalam Penetapan KSA, KPA, Areal Preservasi dan Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut.

Padahal, FPIC adalah hal yang sangat penting dan fundamental dari hak masyarakat adat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap segala sesuatu yang menyangkut wilayah adatnya tanpa paksaan.

Lebih lanjut, UU KSDAHE dinilai tidak memenuhi asas keterbukaan. Koalisi mengaku tidak dapat mengakses dokumen hasil rapat atau atau proses pembahasan UU 32/2024. Sesuai dengan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation) di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR dan Pemerintah seharusnya melibatkan Masyarakat Adat dan komunitas lokal, serta organisasi masyarakat sipil.

Atas dasar hal tersebut, para pemohon dan Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan mendesak MK untuk membatalkan UU KSDAHE yang disusun tidak dengan kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan tertutup.

Setidak-tidaknya MK diminta untuk memerintahkan pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhadap UU KSDAHE dan melibatkan Masyarakat Adat, komunitas lokal dan pihak-pihak yang memiliki fokus pada konservasi.

Lihat Juga :
Kemenkumham Jatim Beber Sebab Pembebasan Bersyarat Sopir Vanessa Angel
(ryn/kid)