cumi123

erek erek14 - Usulan Kementerian 'Kepontal' dan No Viral No Gubris

2024-10-08 01:36:17

erek erek14,statistik phil foden,erek erek14Catatan:Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.comJakarta, CNN Indonesia--

Komedian Kiky Saputri tiba-tiba trending (lagi) pekan ini. Kali ini karena hanya selang sehari setelah cuitannya di platform X (sebelumnya Twitter) soal nasib CPNS dosen 2023 yang tak kunjung jelas, Kemendikbud kemudian menerbitkan surat keputusan pengangkatan.

Tentu semua senang, akhirnya keluhan para calon dosen didengarkan. Kecuali pada fakta, bahwa teriakan soal kacaunya kebijakan kementerian ini sebenarnya sudah sejak lama diangkat - termasuk lewat medsos, medium yang dipakai Kiky Saputri bersuara, jadi kenapa baru sekarang digubris?

Apa kebetulan belaka atau karena Kiky seorang selebriti dengan basis pengikut besar (hampir 300K di X dan lebih dari 3,2 juta di IG)? Atau karena memang desain kementerian dan lembaga negara untuk hanya merespons ketika akun besar yang bersuara?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tentu saja yang tetap tak digubris setelah viral pun tak kurang banyaknya, ingat kasus Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang? Atau Sandi yang sampai berurai air mata memperjuangkan peremajaan mobil damkar Depok tapi malah mau 'dibina' atasannya?

Kita punya banyak lembaga yang mestinya bisa jadi "saluran resmi" suara-suara viral ini. DPR, DPD, DPRD, semua inspektorat jenderal kementerian/lembaga, KPK, Komnas HAM, sampai meja laporan polisi di 493 Polres dan 1062 Polsek seluruh Indonesia - untuk menyebut sebagian.

Lihat Juga :
Sindiran 'No Viral No Justice' dan Balasan 'No Baper' dari Polri

Sebelum jadi isu viral, biasanya laporan-laporan kasus mentok di kanal-kanal tersebut sampai kemudian dilempar ke media sosial dan berhasil mendapat atensi publik. Baru setelah ribuan retweet atau repost dan kolom komentar penuh caci-maki kritik, ada reaksi positif.

Dulu pernah ramai istilah no viral no justice untuk menggambarkan fenomena kasus hukum baru akan diusut setelah hangat diperbincangkan di media sosial. Namun sekarang isu viral tak berbatas isu hukum, tapi juga isu lain yang baru digubris setelah ramai, no viral no gubris.

Saking lumrahnya praktik berviral-viral dahulu baru ada tindakan kemudian ini, kabarnya ada kandidat doktor asal Indonesia yang sekarang sedang meneliti fenomena viral-based policyini untuk riset akademiknya.

Lihat Juga :
Polisi Dalami Dugaan Intimidasi Pria Berseragam PP-Pungli SD Kebumen

Apakah viral-based policy jelek?

Semua sekolah yang mengajarkan ilmu kebijakan publik akan mengatakan bahwa kebijakan yang ideal adalah yang dibuat berdasarkan data, bukti atau sains (evidence-based policy). Artinya sebelum dibuat jadi kebijakan, sudah ada studi yang menakar dengan empirik mana yang paling baik yang bisa dipilih. "Paling baik" ini bisa ditafsir macam-macam, tapi dalam konteks publik tentu yang dianggap paling menguntungkan khalayak luas.

Misalnya, dengan dana Rp1 triliun apakah akan lebih bermanfaat kalau bangun masjid atau bikin ruang terbuka publik atau perbaikan transportasi umum? Atau perlukah jalur sepeda dibuang agar lajur kendaraan bermotor lebih leluasa di jalan raya? Atau pilih mana: mending membereskan isu sampah di seluruh kab/kota di Indonesia atau bangun baru ibukota negara - ini cuma misal lho ya.

Kembali ke pertanyaan jelek dan tidak jelek, apa ada kebijakan yang didesakkan publik luas lewat isu viral yang jelek? CPNS dosen menerima SK, bagus. Guru Honorer DKJ batal kena program cleansing, bagus. Kasus Vina bergulir terus sampai hari ini, bagus.

Intinya secara umum, desakan warganet adalah menciptakan perubahan yang baik lewat suara viral mereka - sehingga yang muncul adalah kebijakan yang jelas gunanya. Tentu saja ada risiko, bahwa isu viral juga sangat bisa direkayasa - seolah suara publik, padahal orkestrasi pendengung (buzzer) belaka. Ini banyak muncul di medsos terutama masa Pilpres lalu.

Lihat Juga :
Netizen Sambut Kemenangan Bima, Sindir Keadilan Tiba Hanya Jika Viral

Risiko lain dari ngetopnya mekanisme viral to policy adalah makin sering kejadian, makin kuat normalisasi metode viral ini. Apa semua kebijakan baik jalannya harus dari viral dulu? Bagaimana dengan korban yang tak punya akses pada dunia virtual dan platform viral? Apa gunanya UU dan payung hukum serta segala macam aturan kalau ujungnya nunggu viral? Berapa banyak anggaran negara dipakai untuk mendukung berfungsinya sistem jadi mubazir karena ternyata sistem akan bergerak nunggu dulu kalau sudah viral?

Kalau jawabannya apa boleh buat, ternyata pertimbangan nalar rasional didukung data dan sains saja tak cukup dan masih perlu keviralan skala nasional, maka mendengar usulan netizen pemakai media sosial jadi masuk akal.

Usulannya begini: daripada menghabiskan banyak anggaran untuk kajian, studi, konferensi ahli, instansi dan kementrian macam-macam, bagaimana kalau dibentuk lembaga khusus pemantau isu viral saja sebagai landasan penyusunan kebijakan? Usulan nama Kementerian Urusan Politik, Internet dan Isu Viral disingkat Kepontal, barangkali cukup layak dipertimbangkan.

(sur/sur)