cumi123

johnslot - RI Doyan Gorengan Tempe

2024-10-08 04:11:15

johnslot,bg rj chip,johnslot

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia, sebagai salah satu konsumen kedelai terbesar di Asia, mengonsumsi sekitar 2,5 juta ton kedelai per tahun. Produk olahan kedelai seperti tempe, tahu, dan kecap menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia. Minuman siap saji dan panganan ringan seperti puding berbahan kedelai juga kini semakin banyak berkembang.

Pedagang gorengan tahu dan tempe pun bisa ditemui di mana-mana. Dan tidak terbatas waktu atau hari, terlihat gorengan tahu dan tempe ditata menumpuk dan dijajakan di gerobaknya. 

Hanya saja, tempe, makanan khas kebanggaan RI yang kini mendunia, ternyata masih harus mengandalkan bahan baku impor. Kedelai produksi dalam negeri tak mampu memenuhi kebutuhan perajin tempe, tahu, juga industri makanan olahan di dalam negeri. 

Produksi kedelai domestik hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan ini, sehingga Indonesia harus mengandalkan impor kedelai.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, Indonesia mengimpor sekitar 2,274 juta ton. Sementara kebutuhan nasional setahun mencapai 2,5 juta ton. Artinya, Indonesia harus mengimpor lebih dari 90% kebutuhan kedelai setahun. Sisanya baru dipenuhi dari produksi petani di dalam negeri. 

Mengutip data Bapanas dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2024, Senin (9/9/2024), sepanjang Januari hingga Juli 2024 RI mengimpor kedelai sebanyak 1,67 Juta ton dan sampai akhir tahun diprediksi mencapai 2,4 juta ton. Dengan taksasi kebutuhan setahun mencapai 2,67 juta ton. Artinya, Indonesia masih harus mengimpor 92% kebutuhan kedelai tahun 2024 ini. 



Tercatat, negara pemasok utama kedelai ke Indonesia adalah Amerika Serikat. Lalu disusul oleh Kanada, Brasil, dan Argentina.

Sementara itu, menurut World Population Review, negara-negara produsen kedelai terbesar di dunia hingga tahun 2024 adalah Amerika Serikat, Argentina, Brasil, India, dan China.

Ketersediaan lahan pertanian yang luas, teknologi pertanian yang maju, serta iklim menjadi faktor utama yang mendukung negara-negara ini menjadi penghasil kedelai terbesar di dunia.



Imbas dari ketergantungan pada impor ini dapat terlihat dari volatilitas harga kedelai dan produk olahannya. Terutama, ketika terjadi fluktuasi kurs Rupiah terhadap Dolar AS, maupun saat produksi di negara asal terganggu.

Ketika nilai tukar Dolar AS menguat, harga kedelai impor bakal ikut bergerak naik, yang kemudian akan berdampak langsung pada harga tempe dan tahu di pasar. Harga kedelai yang sebelumnya berkisar Rp9.000-an per kg menjadi tembus Rp11.000-an per kg. 

Data tahun 2023, Margin Perdagangan dan Pengangkutan Total (MPPT) pada pola distribusi utama kedelai di Indonesia mencapai 11,17%, sebuah indikasi  yang menunjukkan kenaikan harga ini sudah dirasakan oleh konsumen. Rantai pasok kedelai sendiri melibatkan pola importir, pedagang grosir, hingga kemudian pengguna akhir yaitu perajin maupun konsumen.

Cuaca yang mengganggu produksi dan tensi geopolitik juga turut memengaruhi harga dan pasokan kedelai di dalam negeri.

Seperti yang terjadi tahun 2022, ketika perang Rusia-Ukraina pecah dan memengaruhi rantai pasok logistik global. Hingga menimbulkan lonjakan harga berbagai komoditas dunia, termasuk kedelai. Kondisi menambah efek terhadap harga kedelai yang sudah merangkak efek domino Pandemi Covid-19 dan gangguan produksi di Argentina. Akibatnya, kala itu terjadi fenomena "tempe setipis ATM", strategi yang dilakukan pedagang gorengan mengatasi lonjakan harga tempe-tahu dengan mengurangi ukuran gorengan.

Lalu pada akhir tahun 2023 lalu, saat Laut Merah memanas dan mengganggu kelancaran sistem logistik global, Indonesia juga kena getahnya. Impor kedelai sempat terganggu dan harga kembali naik. Akibatnya, puluhan ribu perajin tempe-tahu harus menghentikan produksi sementara lantaran tak bisa mendapatkan kedelai di dalam negeri. 

Kondisi-kondisi ini menunjukkan rentannya Indonesia yang mengandalkan pasokan kedelai impor. 

Dalam catatan CNBC Indonesia, Indonesia sebenarnya pernah mengalai swasembada kedelai. Berdasarkan data Kementerian pertanian (Kementan) dan Gabungan Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo), swasembada kedelai di dalam negeri terjadi pada tahun 1992. Kala itu, luas lahan kedelai mencapai 1,889 juta ha dengan produksi mencapai hampir dua juta ton.

Indonesia sendiri mulai jadi pengimpor kedelai sebagai dampak dari kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional, IMF, tahun 1998. Dalam nota kesepakatan, disebutkan Indonesia perlu membuka pasar bagi komoditas kedelai, dan memangkas subsidi pupuk.

Ini mengakibatkan, produktivitas menjadi rendah, dan masuknya kedelai impor yang secara kualitas lebih bagus. Ditambah lagi, harga kedelai di tingkat petani semakin rendah. Mengakibatkan minat petani menanam kedelai semakin rendah.

Kondisi ini berdampak domino. Produksi kedelai di dalam negeri semakin turun. Dan harus membutuhkan pasokan impor yang semakin besar hingga saat ini.

Memang, kini pemerintah tengah mulai mendorong lagi penanaman kedelai oleh petani. Namun di sisi lain, Indonesia harus menghadapi sejumlah tantangan dalam meningkatkan produksi kedelai.

Sebagian besar lahan pertanian yang digunakan untuk kedelai berada di area sawah yang rentan terhadap perubahan iklim, seperti kekeringan. Menurut data, terdapat sekitar 1.577 rumah tangga petani kedelai di Indonesia yang mengelola lahan dengan rata-rata produktivitas sebesar 14,56 kuintal per hektare (ha). Jumlah ini jauh di bawah kebutuhan nasional, yang memaksa RI harus terus mengimpor kedelai guna memenuhi permintaan domestik.

Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya serius dari pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi kedelai lokal, melalui penyediaan lahan yang lebih luas, subsidi, serta teknologi yang lebih baik. Jika tidak, ketergantungan pada impor akan terus menjadi masalah yang memengaruhi stabilitas harga kedelai di Indonesia di masa depan.


CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(emb/dce) Saksikan video di bawah ini:

Prabowo: Hilirisasi Mutlak, Tidak Bisa Ditawar!

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">