cumi123

62 erek erek - Semu di Balik Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen yang Disyukuri Jokowi

2024-10-08 01:38:29

62 erek erek,al nassr vs al wahda,62 erek erekJakarta, CNN Indonesia--

Ekonomi Indonesia tetap tumbuh di kisaran 5 persen selama beberapa tahun terakhir, saat perekonomian global terguncang di tengah ketidakpastian.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia tumbuh 5,05 persen pada kuartal II 2024 secara tahunan (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan kuartal II 2023, yang sebesar 5,17 Persen.

Sementara pada kuartal I 2024, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,11 persen (yoy). Angka ini lebih tinggi dibandingkan kuartal I 2023, yang sebesar 5,04 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tengah pertumbuhan ekonomi yang disebut Jokowi baik tersebut, ada masalah lain yang mengintai Indonesia, termasuk maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan masih tingginya angka kemiskinan.

Badai PHK menggila terutama di Jakarta. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat PHK menimpa 32.064 tenaga kerja selama enam bulan pertama di 2024.

Mayoritas kasus PHK terjadi di Jakarta yang mencapai 7.469 orang. PHK lainnya juga terpusat di Pulau Jawa. Ada di Banten dengan 6.135 orang kehilangan pekerjaan, 5.155 pekerja di Jawa Barat di-PHK, dan kasus di Jawa Tengah yang menimpa 4.275 karyawan.

Lihat Juga :
3 Penyebab Daya Beli Orang Indonesia Melemah Versi Bos BCA

Pemutusan hubungan kerja yang cukup banyak juga terjadi di luar Jawa. Misalnya, ada 1.812 orang di Sulawesi Tengah yang harus kehilangan pekerjaannya hingga Juni 2024.

Lantas mengapa saat pertumbuhan ekonomi diklaim stabil tetapi marak terjadi PHK?

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan pertumbuhan ekonomi 5 persen sebenarnya tidak tergolong tinggi. Bahkan angka itu terbilang sangat standar jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Jepang, Korea Selatan (Korsel), Taiwan, dan China, di saat negara-negara tersebut sedang di fase keluar dari jebakan negara berpendapatan rendah dan menengah.

Jepang dan China, sambungnya, pernah mencatatkan pertumbuhan 9 persen hingga 10 persen selama satu dekade. Sedangkan Taiwan dan Korsel pernah mencatatkan pertumbuhan ekonomi 8 persen sampai 9 persen selama satu dekade lebih.

"Bahkan dibanding raihan Orde Baru (orba) saja, angka tersebut masih terbilang biasa, di mana rata-rata angka pertumbuhan di era orba sekitar 6 persenan. Setahun jelang krisis 1997 saja, angka pertumbuhan Indonesia tercatat sekitar 6,8 persen," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Lihat Juga :
Bos BPJS Ungkap Iuran Kelas I dan II Berpotensi Naik Saat KRIS Berlaku

Ia mengatakan angka 5 persen terasa tinggi secara komparatif, karena negara-negara di dunia juga mencatat angka pertumbuhan yang rendah pasca-krisis finansial 2008, atau terjebak di dalam fase 'secular stagnatio'.

Istilah itu diperkenalkan Ekonom Alvin Hansen pada 1938, di mana Amerika Serikat (AS) dinilai telah kehilangan sumber-sumber pertumbuhan ekonominya. Istilah itu digunakan kembali oleh mantan Menteri Keuangan AS Larry Summer setelah krisis finansial 2008 lalu.

Pertumbuhan ekonomi 5 persen, sambung Ronny, juga tidak didukung oleh kualitas pertumbuhan yang baik, di mana sektor pendorongnya bukan lagi sektor padat karya seperti manufaktur, tetapi kini ditopang sektor padat modal seperti infrastruktur, pertambangan, jasa, ekonomi digital, dan sektor investasi portofolio (keuangan).

"Sehingga ILOR atau Incremental Labour Output Ratio kita terbilang cukup rendah. ILOR adalah tingkat serapan tenaga kerja per satu persen pertumbuhan ekonomi," katanya.

Menurutnya, babak belurnya sektor manufaktur utamanya karena kalah saing dengan barang impor. Akibatnya, banyak PHK terjadi di sektor TPT (tekstil) dan alas kaki.

Hal serupa juga yang menimpa industri rokok yang kian hari kian mahal, baik karena pajak maupun karena kampanye antirokok, dan lainnya.

Pada intinya, Ronny mengatakan 5 persen bukanlah angka pertumbuhan yang tinggi dan kualitasnya pun terbilang kurang bagus karena tidak ditopang oleh sektor-sektor padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi bisa jadi bersifat semu karena hanya dinikmati segelintir orang. Alhasil, serapan tenaga kerja rendah dan ketimpangan makin tinggi.

"Boleh jadi memang ada benarnya istilah semu tersebut untuk menggambarkan pertumbuhan kita, karena sektor padat modal yang menopangnya hanya akan memperkaya para pemilik modal. Para bankir yang membeli surat utang negara, para industrialis tambang SDA, para Tycoon, mogul ekonomi digital, dan para oligar yang hidup dari proyek-proyek negara, dan seterusnya, adalah para pihak yang menikmati pertumbuhan ekonomi lima persen kita," katanya.

Lihat Juga :
Mencoba Menghitung Biaya HUT RI yang Melonjak Imbas Upacara di IKN

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai terjadinya PHK di beberapa industri saat pertumbuhan ekonomi 5 persen menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya dirasakan oleh semua sektor.

Ia menilai ada sektor yang sebenarnya cukup strategis tetapi kalah saing sehingga harus melakukan PHK, misalnya tekstil.

Tekstil, kata Yusuf, merupakan salah satu sektor strategis yang berkontribusi terhadap perekonomian secara keseluruhan dan juga berkontribusi terhadap industri manufaktur secara umum.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir sektor tekstil dihadapkan masalah ketidakmampuan untuk bersaing dengan produk-produk impor yang masuk ke dalam negeri.

Meskipun ekonomi tumbuh 5 persen, Rendy menyebut terjadi perlambatan pertumbuhan pada beberapa komponen PDB dibandingkan dengan data pencapaian di periode yang sama tahun lalu.

[Gambas:Photo CNN]

Salah satunya, konsumsi rumah tangga yang melambat di kuartal kedua tahun ini jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Perlambatan konsumsi rumah tangga, katanya, menjadi lampu kuning karena setidaknya memberikan gambaran masyarakat menengah ke bawah mengalami tekanan daya beli.

"Ini terlihat dari misalnya pertumbuhan upah yang relatif marginal. Jadi sekali lagi bahwa betul pertumbuhan ekonomi terjadi secara agregat namun masih ada pekerjaan rumah, terutama kalau kita melihat dari sisi sektor lapangan usaha dan kalau kita melihat dari kelompok pendapatan masyarakat menengah ke bawah," katanya.

Ke depan, Yusuf mengatakan pemerintah perlu menjaga daya saing sektor-sektor yang saat ini masih tertatih-tatih baik karena kehilangan daya saing maupun masih merasakan efek dari efek covid 19 beberapa tahun yang lalu. Pemerintah katanya bisa memberikan insentif pajak bagi sektor yang membutuhkan.

Terkhusus untuk industri tekstil, perlu dilihat apakah kebijakan pemerintah untuk menekan impor sudah sesuai dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja industri tekstil itu sendiri.

"Di level individu, saya kira pemberian bantuan terutama di semester kedua nanti juga tidak kalah penting. Dan yang tidak kalah penting juga bagaimana pemerintah menjaga iklim ataupun indikator ekonomi seperti inflasi sehingga kenaikan harga barang terutama untuk komoditas pangan tidak terjadi dan menekan kembali daya beli masyarakat," imbuhnya.

[Gambas:Video CNN]